Kabut: Dibenci dan Dinikmati

_MG_9241

Pagi masih berusia balita, saya berangkat menuju kota tersayang. Malang. Kota yang (dulu) sejuk dan rindang. Langit berwarna putih pucat, jalan antarkota relatif lengang, tanah senantiasa basah. Oleh karena hujan semalam turun dengan durasi yang tak sebentar. Kabut turun mendahului terbitnya penguasa hari. Membuat jarak pandang hanya beberapa puluh meter, membuat saya harus berkali-kali memicingkan mata.

 Jalan licin sudah pasti. Dingin dan hening sudah tentu. Suasana seperti ini, kabut ini, dingin ini, hening ini mengingatkan saya saat singgah di Basecamp Selo Boyolali dan menyengajakan untuk mendaki Gunung Merbabu.

Di Basecamp Selo waktu itu cuaca begitu cerah. Seolah Merbabu memberi restu. Tak ada pertanda hujan akan datang. Tetapi sesaimpainya di Pos 2 Tikungan Macan, langit yang tadinya cerah seketika berubah. Kabut turun disertai rinai hujan. Tak ada lanskap yang bisa dilihat. Kecuali edelweiss disisi kiri-kanan tebing dan jurang.

Sampai di Pos Batutulis, kabut semakin pekat. Warnanya kabut tak lagi putih pucat, malah cenderung berwarna ungu. Tanpa tedeng aling-aling hujan turun sederas-derasnya. Menumpahkan rindunya pada bumi. Begitu seterusnya hingga gulita, sebelumnya kami memutuskan mendirikan tenda di Sabana Dua. Tak banyak melihat pemandangan, kecuali wajah-wajah kusam teman satu rombongan.

IMG20160507171858

Perihal kabut, mungkin bisa saja dibenci saat mendaki atau saat melakukan perjalanan di pagi-siang-bahkan malam hari. Bagaimana tidak, ufuk barat tak menghadirkan warna jingga. Ufuk timur tak menawarkan rona merah-kebiruan.

Yang ada pernapasan menjadi cepat lelah, karenanya konsentrasi asap kabut yang tinggi di udara akan menyebabkan siapapun akan kesulitan bernapas. Selatan ke Utara mata hanya memandang lanskap putih dan abu-abu. Tak ada langit biru atau malam penuh bintang.

Mereka yang membenci kabut saat mendaki, mengutarakan kekecewaan seperti “Adoh-adoh nggunung, gak iso ndelok pemandangan!” – jauh-jauh mendaki gunung, tidak bisa melihat pemandangan! Sama halnya dengan “buat apa capek-capek mendaki, kalau pemandangan terhalang kabut”

Awalnya saja juga demikian, mengumpat kabut tanpa diminta.

Lalu saya berpikir, bagaimana dengan orang yang tinggal di wilayah yang selalu berkabut? Orang-orang yang tinggal di pegunungan? Pernah suatu ketika saya nyangkruk parkiran Seruni Point­–Pananjakan 2 Bromo.

Sedikit berbincang dengan orang Tengger yang kebetulan berada didekat saya, dan pembicaraan dari aktivitas Bromo dan tentu saja, mengenai kabut. Yang sudah menjadi hal lumrah baginya. Jawabnya tenang: Kabut adalah teman, yang mengiringi keseharian.

Entah itu kabut tipis atau pekat sekali. Tak peduli. Pekerjaan harus tetap jalan, receh demi receh harus dikumpulkan agar dapur tetap mengepul. Cuaca kemarau dan penghujan, penguasa hari seringkali lahir dalam pelukan kabut. Begitupula dengan senja, yang tak menjanjikan apa-apa, selain pagi hadir kembali.

DSC_0440

Orang Tengger menikmati. Dengan senyum merekah dan rokok kretek ditangan. Menunggang kuda serta sarung diselempangkan. Seiring waktu berjalan, saya paham. Kabut bukan untuk diumpat apalagi dibenci, hadirnya untuk kita dinikmati.

Kini, saya tak lagi mengumpat dinginnya kabut. Malah justru merasa ada sensasi tersendiri. Seperti bernafas melalui mulut dan bisa mengeluarkan uap. Lalu melakukannya berkali-kali. Sesederhana itu.

Sampai pada akhirnya, kabut pagi ini benar benar pergi tanpa permisi. Membuat yang tadinya samar terlihat, sekarang menjadi jelas. Realita, apa adanya. Di sepanjang jalan yang tak lagi berkabut, membuat klakson kendaraan bermotor berbunyi lebih sering.

Udara dingin sedari tadi merangkul, perlahan mulai menghangat. Kendaraan mulai lalu-lalang. Terlihat jelas sudah, geliat jalan raya Lawang-Singosari, sibuknya Terminal Arjosari. Orang-orang di Stasiun Kotabaru. Serta lelahnya Pasar Induk Gadang, yang terus begadang. Pagi-siang-malam, terus berulang tujuh hari dalam sepekan.

Dalam hati berkata:

Kabut! Sudikah kau hadir kembali? Menyamarkan segala pemandangan perkotaan yang membosankan? Kini kau hilang, punah tiada kesan.

Ah, penguasa hari sudah beranjak dewasa. Saya tiba di Malang sebelum siang.

 

 

2 pemikiran pada “Kabut: Dibenci dan Dinikmati

TINGGALKAN KOMENTAR